Jumat, 27 Januari 2012

Ada Upaya Mematikan Industri Mobil Nasional

NERACA

Jakarta – Pemerintah sangat tegas menunjukkan ketidak berpihakannya kepada industri lokal dalam mobil nasional. Pasalnya, usulan Dirjen Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustian, Panggah Susanto agar industri mobil lokal melirik segmen pasar khusus tertentu dinilai niatan yang tidak baik dan hanya menjadi khawatiran para Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM).

Menurut ekonom Fuad Bawazir, pemerintah tidak pernah ada niatan menghidupkan industri mobil nasional. “Saya rasa pemerintah masih main-main dengan hasil karya dalam negeri sendiri,” katanya kepada Neraca, Rabu (25/1).

Fuad menilai pemerintah saat ini justru cenderung mematikan usaha anak bangsa dengan berbagai macam iming-iming yang dilakukan oleh pemerintah. Sebut saja, dimulai dari pajak yang dimurahkan sampai membentuk panja (panitia kerja).

Bila memang mau membantu industri mobil nasional, imbuh Fuad, maka belilah produk mobil nasional dan tidak dengan macam alasan takut kalah bersaing. Tak heran, dia yakin berlarut-larutnya mobnas karena akal-akalan semua pihak, baik pemerintah, ATPM, produsen mobil asing, serta pedagang. “Mereka semua ingin mematikan mobil nasional agar mobil dari luar (negeri) bisa menjadi tuan rumah di negara kita,” kecam Fuad.

Siasat ATPM

Selain itu, Fuad juga menilai ada ‘main mata’ antara pemerintah dan ATPM dibalik lambannya mobil nasional yang layak jual. Mantan Menteri Keuangan ini beralasan kualitas mobnas dengan mobil dari luar tidak jauh beda. Namun, yang membedakan hanyalah harga yang justru harga mobnas lebih murah daripada mobil asing.

Hal senada juga disampaikan Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya, Prof Ahmad Erani Yustika, agar mobnas bisa terwujud maka harus banyak unsur kepentingan yang harus dilobi, karena selama ini Indonesia menjadi ‘surganya’ otomotif dunia.

Dia mengakui membutuhkan waktu lama untuk mewujudkan hal itu, apalagi ada kepentingan produsen mobil yang memiliki pasar di sini. “Mereka pasti akan mulai hitung-hitung berapa keuntungan yang akan hilang apabila mobnas benar-benar diproduksi. Paling tidak 10% dari pasar otomotif, kan, lumayan. Nah, ini yang ditakuti produsen otomotif raksasa. Pemerintah harus mendukung penuh dan jangan setengah-setengah,” tandasnya.

Sedangkan ekonom Universitas Indonesia Nina Sapti Triaswari menyatakan hal senada, untuk membangun mobil nasional perlu dukungan dari semua pihak, agar bisa mencapai skala ekonominya. “Kalau membuat mobil, Indonesia sudah bisa membuatnya sejak lama,” tuturnya.

Menurut Nina, sekarang ini sudah ada kesadaran dari semua pihak bahwa dengan momentum mobil Esemka ini, bangsa Indonesia bisa membuat mobil. Tinggal bagaimana pemerintah, perbankan dan komponen lainnya mendukung upaya membangun mobnas ini agar bisa mencapai skala ekonomi tersebut.

Baik Erani dan Nina Sapti, keduanya sepakat mendukung mobil nasional masuk ke pasar nasional membutuhkan dukungan penuh pemerintah dengan berbagai kebijakan fiskal, permodalan dan bantuan litbang, “Apabila mobil yang diproduksi tersebut bisa masuk di pasar nasional saja, maka akan merupakan hal yang luar biasa. Karena mobil nasional, sudah merupakan bagian dari pasar global,”ujarnya.

Selain itu, mempersiapkan infrastruktur industri, jaringan layanan purna jual dan ketersediaan suku cadang juga hal yang perlu diperhatikan untuk meningkatkan daya saing mobil nasional.

Kapasitas Rendah

Sebelumnya, Direktur Jenderal Industri Unggulan Berbasis Teknologi Tinggi Kementerian Perindustrian, Budi Darmadi mengatakan, mobnas sebaiknya hanya masuk di kelas 700 cc ke bawah. Pasalnya, belum banyak mobil yang ada di pasaran saat ini menggarap segmen tersebut. “Kompetisi ketat, hingga harus cari segmen yang smart. Yaitu 700 cc ke bawah,” tegas dia.

Budi percaya jika pasar kendaraan ber-cc kecil semakin diminati masyarakat, sehingga menjadi salah satu solusi. Meski begitu, dia berkilah hanya sebatas memberikan himbauan saja. Dijelaskan juga, investor mobnas bebas menggarap mobil dengan kapasitas cc berapapun. Namun, faktor yang terpenting adalah pertimbangan bisnis dari masing-masing pihak.

Selain itu, perkembangan mobnas terhambat disebabkan resistensi perusahaan multinasional dengan merek global yang telah menguasai pasar. “Ada keterbatasan supply chain dari komponen nasional yang masih berskala industri kecil dan menengah. Persyaratan teknis terkuat yakni regulasi keselamatan dan kualitas serta hak atas kekayaan intelektual (HAKI),” paparnya.

Terkait kebijakan insentif bagi produsen yang akan membuat mobil berkategori low cost and green car (LCGC), Budi menambahkan mobnas termasuk boleh mendapatkannya. Pola insentif tersebut sedang dibahas antarkementerian, dan diharapkan dapat merangsang industri otomotif nasional.”Insentif untuk semua, mobnas juga. Ini kan agar mandiri, membentuk power trade, mulai dari mesin hingga transmisi. Dengan begitu akan menumbuhkan banyak industri komponen sehingga tidak harus impor terus,” paparnya.

Segmen Tertentu

Tidak jauh berbeda, Dirjen Basis Industri Manufaktur Kementerian Perindustian, Panggah Susanto mengatakan hal yang sama, sebaiknya industri mobil lokal melirik segmen pasar khusus tertentu. Alasannya, supaya tidak berkompetisi langsung dengan produsen mobil raksasa seperti Toyota, Suzuki, Mercedes Benz, BMW, dan KIA Motors.

Selain itu, produsen mobil yang mapan sudah menguasai pasar, distribusi, serta jaringan hingga 800 industri komponen. Ketatnya persaingan pasar mobil di Tanah Air membuat rencana kehadiran mobnas perlu strategi jitu. Salah satunya, lanjut Panggah, mobnas harus masuk di pasar yang selama ini belum digarap oleh produsen-produsen mapan seperti Jepang, Korea maupun Eropa. “Saya harap kapasitas mesin tidak berhadapan langsung (head to head) dengan mobil yang sudah ada di pasaran,”kata.

Menurut dia, saat ini terdapat dua puluh perusahaan mobil raksasa yang sudah mapan dengan kapasitas produksi 900.000 unit per tahun.

(bari/novi/iwan/Agus/Ardi/bani)

Rabu, 18 Januari 2012

Kebijakan LCGC Dinilai Untungkan Pabrikan Asing

Pemerintah Diminta Tak Hambat Embrio Mobnas

JAKARTA – Rencana Menteri Perindustrian untuk memberi insentif kepada perusahaan mobil murah dan ramah lingkungan atau low cost and green car (LCGC), mulai mendapat penolakan. Pasalnya, kebijakan itu dikhawatirkan berpotensi menghambat pengembangan mobil nasional (mobnas).

Wakil Ketua Komisi VI DPR, Aria Bima, menyatakan, insentif yang rencananya akan diberikan kepada produsen mobil besar anggota Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) agar membuat mobil berkapasitas mesin antara 1000-1.200 cc, sama saja menghambat pengembangan mobil nasional yang murni buatan anak bangsa sendiri. Politisi PDI Perjuangan itu mencontohkan, mobil Kiat-Esemka yang memiliki kapasitas mesin 1500 cc yang digadang-gadang bakal menjadi embiro mobnas bisa terjegal kebijakan pemerintah.

“Jika diteruskan, kebijakan ini sama saja menghadap-hadapkan embrio mobil nasional, seperti Kiat-Esemka, Gea, Tawon, dengan raksasa-raksasa industri otomotif dunia,” kata Aria Bima kepada JPNN, Selasa (17/1).

Lebih lanjut dikatakannya, semestinya pemerintah mengutamakan regulasi yang berpihak pada mobil buatan dalam negeri yang bisa dijadikan mobil nasional. Dengan demikian, katanya, mobnas itu bisa bersaing dengan mobil yang dijual Agen Tunggal Pemegang Merek (ATPM) asing yang sudah menguasai hampir seratus persen pasar mobil Indonesia.

“Insentif mestinya diberikan kepada industri mobil nasional yang masih lemah dan tertatih-tatih. Bukan malah untuk raksasa industri mobil multinasional,” katanya.

Sedangkan Ketua Asosiasi Industri Automotive Nusantara (Asia Nusa), Dewa Yuniardi, menilai pemerinah justru mengabaikan potensi sumber daya lokal. “Kondisi ini akibat kebijakan yang keliru para petinggi negara ini. Sumber daya lokal kita sebenarnya mampu, tetapi kesempatan seolah-olah ditutup selama puluhan tahun,” kata Yuniardi.

Ia mencontohkan pengenaan bea masuk 10 persen bagi impor mesin bagi para produsen merek nasional. Sementara agen tunggal pemegang merek asing yang mengimpor mesin-mesin tersebut, justru dibebaskan dari pengenaan bea masuk. “Itulah sebabnya, kemandirian industri otomotif Indonesia sangat rendah,” katanya.

Seperti diketahui, Menteri Perindustrian MS Hidayat pekan lalu menyatakan, regulasi mobil murah akan segera diterbitkan dalam waktu dekat. Draft regulasi itu kini sudah masuk Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan dan tinggal menunggu persetujuan. Regulasi antara lain akan memberi insentif keringanan pajak pertambahan nilai (PPN) dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).(ara/jpnn) 

Sumber:  http://m.jpnn.com/news.php?id=114460

PENJELASAN ASIANUSA:

Mengingat banyaknya pertanyaan sehubungan hal tersebut, maka berikut kami berikan sedikit ulasan kenapa hal tersebut menguntungkan pabrikan/pemegang merk asing dan merugikan pabrikan/pemegang merk nasional, penjelasan nya adalah sbb:

Pemerintah saat ini sedang menggodok kebijakan mobil murah, dimana dalam kebijakan tersebut ada 2 jenis kebijakan, yaitu:

1. Kebijakan Mobil Murah Angkutan Pedesaaan (untuk mobil bermesin dibawah 700 CC), dimana yang dipilih adalah GEA Pick Up, Tawon Pick Up dan Mahator, isi kebijakan tersebut adalah tentang insentif kebijakan fiskal dll.

2. Kebijakan LCGC (Low Cost Green Car), atau kebijakan Mobil Murah Ramah Lingkungan (untuk mobil bermesin 1.000 CC sd 1.200 CC), isi kebijakan tersebut adalah tentang insentif kebijakan fiskal dll.

Kedua kebijakan tersebut adalah merupakan paket Kebijakan Mobil Murah, yang akan dikeluarkan secara bersamaan, rencananya pada bulan Februari 2012 nanti .. dengar2 sih akan disosialisasikan pada tanggal 14 Februari 2012 karena bersamaan dengan hari Valentine :)

Kenapa kebijakan tersebut malah justru menguntungkan Pabrikan/Pemegang Merk Asing? Karena kebijakan tersebut pada poin 1 memang akan membantu perkembangan mobil nasional yang ber CC dibawah 700CC yang akan dinikmati oleh pabrikan/pemegang merk Nasional, tetapi jika dibarengi dengan kebijakan poin 2 maka hal ini justru mematikan pabrikan/pemegang merk Nasional, karena dengan diberikan insentif fiskal dll, maka harga dari mobil2 yang diproduksi pabrikan/pemegang merk asing akan turun jauh sehingga diperkirakan akan mencapai harga 80jutaan, sementara penurunan harga mobil produsen Asianusa dan Esemka tidak se-signifikan penurunan harga dari pabrikan/pemegang merk asing, pabrikan yang menikmati kebijakan LCGC harganya akan sedikit di atas mobil produksi pabrikan/pemegang merk Nasional.

Dengan diberikan nya kebijakan LCGC pada poin 2 tersebut, maka bisa dipastikan pabrikan/pemegang merk asing akan berbondong2 memanfaatkan kebijakan tersebut sehingga pabrikan/pemegang merk lokal akan bersaing head to head dengan pabrikan/pemegang merk asing.

Jadi kesimpulan nya, Kebijakan LCGC AKAN LEBIH MENGUNTUNGKAN Pabrikan/Pemegang Merk Asing, dan sekaligus AKAN MEMATIKAN Pabrikan/Pemegang Merk Nasional.

Bagaimana Sikap Asianusa ? Jika memang Kebijakan Mobil Murah Pemerintah Angkutan Pedesaan harus dibarengi dengan Kebijakan LCGC, maka sikap Asianusa adalah MENOLAK KEDUA KEBIJAKAN TERSEBUT, dan mohon agar pemerintah mengkaji kembali Kebijakan Mobil Murah yang akan dikeluarkan tersebut.

Dan jika masih diperbolehkan memilih, kami hanya ingin kebijakan yang berlaku pada industri otomotif yang sdh ada saat ini berlaku pula bagi Asianusa dan ESEMKA .. (mis: bea masuk 0% untuk impor mesin), dan lain2..



Salam ASIANUSA !

Senin, 16 Januari 2012

Definisi Mobnas Itu Seperti Apa Sih?

Syubhan Akib - detikOto

Jakarta - Dalam beberapa minggu terakhir Indonesia sedang mengalami demam mobil nasional atau mobnas. Tapi status Esemka sebagai mobnas dipertanyakan karena Esemka hanya mobil yang dirakit saja. Jadi sebenarnya apakah definisi dari mobil nasional tersebut?

Saat ini para pengembang mobil nasional seperti Fin Komodo, AG-Tawon, GEA, Kancil, Wakaba, Merapi dan Boneo merapatkan barisan membentuk sebuah perkumpulan bernama Asosiasi Industri Automotive Nusantara (Asia Nusa).

Asosiasi yang di deklarasikan pada Februari 2010 lalu menyepakati beberapa hal terkait definisi mobil nasional. Ketua Bidang Marketing dan Komunikasi Asia Nusa Dewa Yuniardi menjelaskan beberapa hal terkait hal itu.

Menurutnya kepada kepada detikOto, akhir pekan lalu ada 3 aspek pokok sebuah mobil nasional.

"Pertama pemilik perusahaannya adalah orang Indonesia. Kedua pemegang hak patennya adalah orang Indonesia dan ketiga pemegang mereknya adalah orang Indonesia," papar Dewa yang juga menjabat sebagai Direktur Marketing PT Fin Komodo Teknologi ini.

Dewa juga mengakui kalau ada perbedaan yang signifikan antara definisi mobil nasional yang dia katakan tadi dengan definisi mobil nasional yang diyakini oleh para industrialis Indonesia yang bergerak di perusahaan-perusahaan otomotif asing.

Bagi para industrialis Indonesia yang bekerja untuk perusahaan asing, definisi mobil nasional kebanyakan adalah sebuah mobil yang dirakit di Indonesia dengan komponen dan tenaga kerja Indonesia.

"Definisi memang berbeda-beda. Tapi sebagai gambaran, kalau definisinya seperti itu, kalau sebuah merek Jepang, misalnya, mengekspor mobil ke Afrika dari pabrik Indonesia yang pakai komponen Indonesia dan dirakit oleh orang Indonesia tetap saja orang Afrika tahunya itu mobil Jepang. Bukan mobil Indonesia," papar Dewa.

"Karena itulah kalau kita hanya punya pabrik dari merek asing, kita tidak akan berkembang dan tidak bisa buka industri baru di luar negara kita. Tapi kalau kita pakai merek sendiri, kita bisa bawa merek itu untuk buka pabrik di luar negeri," jelasnya lagi.

Sementara untuk memajukan industri mobil nasional, ada dua pihak yang bisa mempercepat kemajuan industri lokal ini yakni masyarakat dan pemerintah.

Sebab bila masyarakat mau menggunakan dan membeli mobil merek lokal dan mau menerima segala kekurangannya, ditambah bantuan pemerintah terutama berupa sokongan kebijakan, bukan tidak mungkin industri mobil nasional akan bergerak cepat.

"Bila kita bersama-sama, bahu membahu membangun negeri kita sendiri, saya yakin mobnas akan bisa tumbuh cepat," pungkasnya.

( ddn / ddn )