Senin, 12 Agustus 2013

Aturan Mobil Murah Bakal Digugat

Liputan6.com, Jakarta : Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) berniat mengajukan gugatan aturan mobil murah dan ramah lingkungan (low cost green car/LCGC) kepada Mahkamah Agung (MA). Aturan teknis dari penjabaran Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2013 itu diindikasikan bertentangan dengan Undang-undang (UU) Lalu Lintas.

Sebelumnya, YLKI menuding kebijakan mobil murah yang dikeluarkan pemerintah telah membohongi masyarakat. Dengan harga jual Rp 95 juta per unit, masyarakat sebetulnya harus merogoh kocek kembali untuk memperoleh mobil dengan fasilitas yang lebih baik.

Ketua Pengurus Harian YLKI, Sudaryatmo mengaku keberatan dengan penerbitan aturan mobil murah yang sangat kontraproduktif. Pasalnya, keberadaan mobil murah hanya akan membuat populasi mobil pribadi semakin bertambah.

"Yang dibutuhkan Jakarta bukan mobil murah tapi pembenahan sarana transportasi publik. Keberadaan mobil murah pribadi justru menjadi sumber kemacetan Ibukota," ungkap dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, seperti ditulis Senin (12/8/2013).

Terkait penghematan bahan bakar minyak (BBM) pada mobil murah, menurut Sudaryatmo terkesan memaksakan. Jika ingin menghasilkan kendaraan yang ramah lingkungan sebaiknya mobil atau motor langsung didesain menggunakan bahan bakar gas (BBG) dan bukan lagi BBM.

"Tim hukum kami sedang mengkaji dan mengumpulkan bukti-bukti yang menunjukkan bahwa PP tersebut bertentangan dengan UU," terang dia.

Lebih jauh Sudaryatmo mengatakan, gugatan bakal dilayangkan setelah proses kajian tersebut tuntas. Sehingga pihaknya belum dapat memastikan kapan gugatan tersebut mulai meluncur ke MA.

"Jadi tergantung hasil kajian. Kami belum bisa memastikan karena perlu diuji juga karena kami juga tidak ingin menggugat tanpa ada bukti," paparnya.

Jika terbukti PP itu bertentangan dengan UU, dia meminta dengan tegas kepada MA untuk menangguhkan, bahkan membatalkan pelaksanaan PP LCGC. "Kalau benar-benar terbukti, ya kami minta supaya PP mobil murah ditangguhkan atau dibatalkan," pungkas Sudaryatmo.

PP Nomor 41 Tahun 2013 sebelumnya telah ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 23 Mei 2013.

PP tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah tersebut memuat ketentuan mengenai pembebasan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) hingga 0% dari harga jual untuk kendaraan bermotor yang termasuk program mobil hemat energi dan harga terjangkau, selain sedan atau station wagon.(Fik/Shd)

YLKI Tuding Aturan Mobil Murah Bohongi Masyarakat

Liputan6.com, Jakarta : Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Sudaryatmo menuding aturan mobil murah dan ramah lingkungan (low cost green car/LCGC) membohongi masyarakat terkait harga jual mobil maksimal Rp 95 juta per unit.

"Harga jual katanya Rp 95 juta paling tinggi tapi belum termasuk biaya penggunaan transmisi 15% dan teknologi pengaman 10%. Harga juga akan lebih tinggi karena mayoritas masyarakat masih nyicil untuk beli mobil. Itu membohongi konsumen," tegas dia saat berbincang dengan Liputan6.com, Jakarta, seperti ditulis Senin (12/8/2013).

Sudaryatmo menjelaskan, informasi yang tercantum dalam dua peraturan mobil murah bersifat sepotong-sepotong. Pemerintah dinilai tidak menjelaskan secara utuh aturan tersebut sehingga menimbulkan kontra produktif.

Dua aturan yang dimaksud adalah Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Satu peraturan lainnya adalah Peraturan Menteri Perindustrian (Permenperin) Nomo 33/M-IND/PER/7/2013 tentang Pengembangan Produksi Kendaraan Bermotor Roda Empat yang Hemat Energi dan Harga Terjangkau.

"Seolah-olah mobil murah jadi transportasi unggulan ke depan. Padahal mobil murah cuma menambah jumlah mobil pribadi dan ujung-ujungnya ada lobi-lobi industri di belakangnya. Bisa dibilang jadi pro dengan industri otomotif," jelasnya.

Terkait penggunaan konten lokal, Sudaryatmo menilai ketentuan tersebut belum terlihat secara jelas. Sebab, Indonesia hanya dianggap sebagai pasar oleh produsen otomotif asing yang ada di tanah air.

"Bertahun-tahun, Indonesia cuma dijadikan pasar. Pemerintah terlalu lembek sehingga bisa terjadi 'nego' dari para prinsipal," tukasnya.

YLKI masih menilai solusi terbaik bagi Indonesia seharusnya pembenahan transportasi umum dalam kota maupun antar provinsi. Usul ini diajukan mengingat banyak transportasi umum yang 'mati' karena tidak mendapat dukungan dari pemerintah.

"Pemerintah harus mulai menurunkan belanja transportasi masyarakat. Karena dari data Kementerian Perhubungan, 35% dari penghasilan masyarakat dibelanjakan untuk mencicil mobil," pungkas Sudaryatmo.

Seperti diketahui, dalam bulir kelima di Permenperin mobil murah, menyebutkan penggunaan tambahan merek, model, dan logo harus mencerminkan Indonesia, serta mengatur besaran harga jual mobil LCGC paling tinggi Rp 95 juta berdasarkan lokasi kantor pusat Agen Pemegang Merek (APM).

Sedangkan bulir keenam berisikan soal batasan harga tersebut dapat disesuaikan apabila terjadi perubahan pada kondisi atau indikator ekonomi yang meliputi besaran inflasi, kurs nilai tukar rupiah dan harga bahan baku. Termasuk juga dalam penggunaan transmisi otomatis maksimum 15% serta 10% untuk teknologi pengaman penumpang. (Fik/Shd)

Jumat, 02 Agustus 2013

Suzuki Satria FU 150 Harga Dan Spesifikasi 2013

Suzuki Satria FU 150
Suzuki Satria FU 150 menjadi salah satu produk yang menjadi idola para remaja khususnya pada saat ini. Salah satu yang menjadi kesukaan para pengendaranya adalah performa responsive yang dimiliki oleh motor yang satu ini. Selain itu tampilan yang simple bergaya ayago membuat daya tarik yang lebih dari motor ini. Jika kita lihat di jalanan mayoritas pengendara motor ini dalah

Rabu, 31 Juli 2013

YLKI Minta Pemerintah Stop Mobil Murah

Muhammad Ikhsan - detikOto - Jakarta - Kemunculan mobil murah diprotes oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) . Secara sepintas, regulasi mobil murah dan ramah lingkungan (LCGC) memang terkesan bagus.

Namun dalam konteks pertumbuhan ekonomi, transportasi dan energi, regulasi ini banyak cacatnya dan meminta agar pemerintah merevisi secara total Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 tentang regulasi mobil murah dan ramah lingkungan (LCGC).

"Oleh karena itu, YLKI meminta pemerintah untuk merevisi total PP tersebut, dan menghentikan rencana produksi mobil LCGC. PP ini banyak cacat baik pada konteks paradigmatis/ideologis dan atau substansi," kata Anggota Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi dalam surat keterangan yang diterima detikOto, Selasa (30/7/2013).

Berikut isi keluhan terhadap LCGC versi YLKI:

1. Sacara paradigmatis PP ini cacat, karena seharusnya yang diberikan insentif adalah pengelola angkutan umum, bukan industri otomotif.

2. Dari sisi timing (waktu), regulasi ini tidak tepat karena masih buruknya sarana prasarana transpoprtasi umum. Sebaliknya, regulasi ini bisa diterima jika sistem transportasi di kota-kota besar sudah memadai dan terintegrasi. Regulasi ini terlalu menguntungkan dan memanjakan industri otomotif.

3. Dari sisi finansial, klaim murah juga menyesatkan (membohongi konsumen. Apanya yang murah, jika mobil itu dibeli secara kredit harganya mencapai Rp 140 jutaan. Sementara mayoritas konsumen membeli mobil dengan cara kredit/cicil.

4. Apanya yang ramah lingkungan, jika mobil ini masih menggunakan BBM, dan apalagi BBM bersubsidi? Jadi klaim mobil LCGC adalah klaim yang tidak berdasar.

5. Produk massal terhadap mobil LCGC pada akhirnya akan membuat macet-macet kota-kota besar di Indonesia, dan menjebol APBN karena subsidi BBM akan kian melambung. Polusi di kota-kota besar akan makin memburuk.

6. YLKI menduga dengan kuat PP ini disahkan tanpa koordinasi yang jelas antar Kementerian, bahkan aura kolusinya sangat kental.

Selasa, 30 Juli 2013

Mobil Murah Bisa Ancam Konsep Transportasi Massal

RMOL. Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41/2013 tentang pembebasan pajak atas penjualan barang mewah (PPnBM) untuk mobil murah, dapat menghancurkan konsep transportasi massal Jakarta.

Kemacetan menjadi pemandangan yang biasa di ibukota. Dari yang bisa kita lihat di kawasan Jatinegara, Jakarta Timur saja misalnya, walau sudah dilakukan penertiban, ternyata masih ada dua titik kemacetan di sana, yaitu di depan SMPN 14 Jakarta dan di dekat Pasar Jatinegara.  

 Menurut pengamatan Rakyat Merdeka, hal yang sama juga terlihat di kawasan Ampera, Jakarta Selatan. Titik kemacetan khususnya ketika pagi, ada di depan SMU Sumbangsih. Nampak kendaraan pribadi mengular dari depan SMU Sumbangsih hingga ke depan halte Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN).

Tak Jarang, jika sedang ada sidang tilang kendaraan di PN Jaksel (yang lokasinya tak jauh dari IPDN), kemacetan akan terus mengular hingga ke Jalan Sawo.

Data Kementerian Pekerjaan Umum menunjukan, salah satu pemicu kemacetan di Jakarta adalah karena sikap masyarakatnya yang lebih memilih kendaraan pribadi untuk beraktivitas ketimbang angkutan massal.

Bahkan, trend persentase penggunaan angkutan massal masyarakat Jabodetabek terus menurun tiap tahun. Bila pada 2002 penggunaan angkutan masaal ke kantor mencapai 38,3 persen, maka pada 2010 hanya 12,9 persen.

Ironisnya, kemacetan di Jakarta ke depan sepertinya akan semakin parah. Penyebabnya, pada akhir Mei lalu pemerintah mengeluarkan PP Nomor 14/2013 tentang kendaraan bermotor yang dikenai pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).

Peraturan itu antara lain menyebutkan ada keringanan pajak penjualan hingga nol persen untuk penjualan mobil yang hemat energi dan mobil murah. Dengan pajak nol persen itu, mobil-mobil dengan kapasitas di bawah 1.200 cc dan memiliki konsumsi bahan bakar minyak kurang lebih 20 km per liter, setidaknya dapat dipasarkan lebih murah di bawah harga Rp 100 juta.

Murahnya harga mobil ini tentunya dapat kian memperparah kemacetan, lantaran masyarakat bisa berbondong-bondong membeli mobil murah untuk beraktivitas, ketimbang pakai angkutan massal. 

Menyikapi masalah ini, Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi), tak menampik jika peraturan itu sangat berisiko memicu masyarakat membeli mobil.

“Siapa yang nggak mau mobil murah. Ya bagus dong, bagus artinya tambah macet,” sindir bekas Walikota Solo ini.

Jokowi  juga menilai, kebijakan mobil murah dan mobil hemat energi tidak sesuai dengan langkah pemerintah sendiri yang akan menekan penggunaan bahan bakar minyak (BBM). 

Namun, karena Pemprov DKI tak bisa melarang warga untuk membeli mobil, lanjutnya, seharusnya kebijakan pemerintah dapat menyesuaikan diri dengan program penataan lalulintas, bukan sebaliknya. Jika tidak, penambahan mobil sudah pasti akan menambah macet ibukota.

"Kalau ada mobil murah, masyarakat kapan mau pakai transportasi massal," keluhnya.
Hingga kini, diakui Jokowi, pihak Pemprov masih berkonsentrasi dengan konsep sistem ganjil-genap dan electronic road pricing (ERP) demi mengurai kemacetan. Kini, dia mengaku mendapat PR baru lagi, yakni segera  mempelajari peraturan baru pemerintah pusat tersebut.

Yang Dibutuhkan Transportasi Umum Murah

Kebijakan pemerintah pusat yang membebasan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) untuk mobil murah dan mobil hemat energi, dinilai hanya akan bertentangan dengan penataan transportasi umum.

Pengamat transportasi Djoko Setijowarno menilai, Indonesia sebenarnya tidak memerlukan mobil murah ataupun kebijakan tentang mobil murah hemat energi (low cost green car). 

Menurutnya, yang dibutuhkan Indonesia adalah transportasi umum yang murah. "Pejabat Indonesia itu tidak sensitif terhadap kebutuhan rakyatnya," kritik Djoko.

Kebijakan mobil murah dan hemat energi, lanjut Djoko, juga akan bertentangan dengan kebijakan pemerintah yang tengah gencar-gencarnya menekan konsumsi BBM bersubsidi. 

Selain itu, kebijakan tersebut dapat mendorong masyarakat  membeli ataupun menambah mobil. Imbasnya, jumlah mobil yang beredar di jalan akan semakin banyak, hingga akhirnya menyebabkan kemacetan di segala ruas jalan.

"Apalagi pemasaran mobil sekitar 30 persen terkonsentrasi di DKI Jakarta. Ini tentu akan menambah kemacetan. Imbasnya, kebijakan tersebut tidak mendukung kepala daerah yang sedang menata transportasi umum," ujarnya.

Seperti diketahui, salah satu daerah yang dipastikan bakal terkena imbas kebijakan mobil murah dan  hemat energi, yang tertuang dalam PP Nomor  41 Tahun 2013 adalah Jakarta. Program transportasi massal seperti monorail ataupun mass rapid transit (MRT) bisa gagal jika masyarakat memilih menggunakan mobil pribadi. [Harian Rakyat Merdeka]

Ironi Mobil Murah


Di tengah keraguan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, tiba-tiba diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 41/2013 tentang Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

Di dalam PP tersebut diatur pula low cost green car(LCGC) atau mobil murah ramah lingkungan, meliputi hybrid car, mobil listrik, dan biofuel. Substansi PP tersebut adalah mengatur mengenai penghitungan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM). Jenis mobil yang diatur dibedakan menjadi dua, yakni low carbon emission (LCE) dan LCGC.

Potongan pajak PPnBM yang dikenakan terhadap mobil LCE yakni 25-50%, sedangkan untuk LCGC 100% alias dibebaskan. Yang termasuk dalam LCE adalah mobil berbahan bakar diesel atau petrol engine, biofuel, hybrid, gas CNG, atau LGV. Mobil LCE dikenakan diskon pajak 25% jika konsumsi bahan bakarnya 20-28 km per liter, dan diskon 50% jika konsumsi bahan bakar lebih dari 28 km per liter.

Sedangkan mobil yang termasuk LCGC dibagi menjadi dua, yakni mobil berteknologi motor bakar cetus api (premium) dengan kapasitas hingga 1.200 cc dan mobil berteknologi motor nyala kompresi (diesel atau semidiesel) dengan kapasitas hingga 1.500 cc. Konsusmsi bahan bakar dua jenis mobil tersebut minimal 20 km per liter atau bahan bakar lain yang setara.

Kedua jenis mobil tersebut dapat diproduksi oleh produsen lokal maupun asing (Sumber: rangkuman pemberitaan beberapa media massa). Peraturan Pemerintah (PP) No. 41/2013 ini menandai lahirnya suatu generasi baru dalam dunia otomotif, yaitu mobil dengan bahan bakar yang lebih irit, sehingga disebut ramah lingkungan. Dan karena menawarkan teknologi yang hemat BBM, maka memperoleh potongan pajak cukup signifikan. 

Potongan pajak yang signifikan itulah yang menyebabkan mobil tersebut dapat dijual dengan harga murah dibandingkan mobil-mobil biasa yang ada di pasaran sekarang ini. Harganya yang murah itulah yang akan membuat jenis kendaraan ini akan diburu oleh masyarakat yang sudah lama mimpi memiliki mobil pribadi.

Mungkin inilah jawaban atas wacana city car yang ramai dibicarakan sejak dua tahun silam, yaitu mobil-mobil baru dengan harga di bawah Rp 100 juta. Jika kemampuan produksi mobil jenis LCE dan LCGC mencapai 100.000 unit pada tahun pertama, dapat dipastikan ia akan terserap oleh pasar semua dan menjadi rebutan golongan kelas menengah baru. Selamat datang mobil baru di negeri yang boros BBM! Ironi 

Sebuah Kebijakan 
Keluarnya PP yang mengatur tentang mobil murah ini sesungguhnya merupakan wujud ketidakkonsistenan pemerintah dalam kebijakan BBM.  Di satu pihak, sejak 2010 terus mewacanakan untuk hemat BBM, termasuk juga membatasi kuota BBM bersubsidi, tapi si sisi lain, pemerintah justru mendorong produksi mobil murah dengan cara memberikan diskon pajak yang cukup signifikan. Harga murah dan hemat BBM itulah dua daya tarik utama bagi para pengguna sepeda motor untuk bermigrasi ke mobil pribadi. Apalagi bila bentuknya kecil dan dengan fleksibel bisa bermanuver di jalan yang macet, orang pasti menyukainya. 

Mengingat pertumbuhan kelas menengah di Indonesia selama satu dekade cukup signifikan, maka dapat diperkirakan proses migrasi dari sepeda motor ke mobil murah akan terjadi secara masif. Dengan demikian dalam lima tahun ke depan, mobil murah akan mendominasi jalan-jalan di kota-kota besar di Indonesia. Meskipun sudah didesain dengan teknologi hemat BBM, tapi karena jumlahnya masif, tetap saja kehadiran mobil murah ini akan turut mempercepat proses pemborosan BBM. Mobil yang dimaksudkan sebagai solusi hemat BBM ini malah turut memacu pemborosan BBM.

Jika pemerintah hendak mengambil kebijakan hemat BBM, langkah yang tepat adalah menaikkan harga BBM. Atau pun kalau ingin memberikan insentif pajak, seharusnya itu diberikan untuk jenis angktan umum (bus), bukan jenis mobil pribadi. Dengan harga bus/truk yang lebih murah, berarti operator dapat menekan biaya investasi yang pengembaliannya dibebankan pada tarif yang harus dibayar oleh penumpang/pengguna jasa. Bila biaya investasi kendaraan cukup tinggi, tarif pun tinggi. Tapi bila biaya investasi rendah, tarif dapat ditekan menjadi lebih murah. Memberikan keringanan/pembebasan pajak bagi kendaraan pribadi itu inkonsisten dengan niat kebijakan untuk hemat BBM  

Ironisnya lagi, dalam penetapkan pajak kendaraan Kementerian Keuangan tidak mendasarkan pada fungsi kendaraan, melainkan hanya pada besaran CC-nya saja. Ini yang membuat jenis bus dan truk – dengan alasan CC-nya lebih besar – dikenai pajak lebih besar pula, sebaliknya untuk kendaraan pribadi. Ini jelas mencerminkan kekacauan berpikir birokrat, karena hal yang terkait dengan kepentingan publik diperberat, tapi terkait dengan kepentingan pribadi justru diperingan.

Tidak mengherankan bila sampai saat ini Indonesia belum memiliki pabrik bus sendiri. Mestinya PP yang dibuat itu untuk mendorong lahirnya industri pembuatan bus dan truk untuk mendukung angkutan umum massal dan barang dalam negeri.

Untungkan Pihak Asing
Dengan dikeluarkannya PP No 41/2013 itu maka pihak yang paling diuntungkan adalah industri otomotif asing yang sudah siap teknologi untuk memproduksinya. Sedangkan industri otomotif lokal masih masih harus belajar teknologi terlebih dahulu untuk membuat mobil hemat BBM. Jadi peraturan ini sebetulnya pepesan kosong bagi industry otomotif lokal. Bagi masyarakat umum, ini justru merupakan jebakan baru untuk masuk ke dalam massalisasi mobil pribadi. 

Boleh jadi, munculnya peraturan tersebut merupakan hasil lobi industry otomotif dari luar yang sudah menginvestasikan modalnya secara besar-besaran di Indonesia. Efek lanjut dari massalisasi mobil pribadi ini adalah akan muncul desakan untuk membangun jalan-jalan baru atau memperlebar jalanjalan yang ada dengan alasan sudah tidak mampu lagi menampung kendaraan yang lewat. Bila kekhawatiran tersebut menjadi kenyataan, mobil murah yang disebut sebagai solusi hemat BBM justru berbalik menjadi masalah baru, yaitu pemborosan BBM secara masif dan terprogram.

Sulit bagi pemerintah ke depan untuk mengendalikan pertumbuhan mobil murah ini mengingat sampai sekarang belum ada satu pun instrumen untuk pembatasan kendaraan pribadi. Di sisi lain, perbaikan angkutan umum massal tidak terjadi secara cepat di semua wilayah Indonesia, tapi lebih terkonsentrasi di beberapa kota besar saja. Wajar bila di kemudian hari masyarakat justru bertumpu pada keberadaan mobil murah untuk melakukan mobilitas geografis. Akhirnya, secara agregat, keberadaan mobil murah yang disebut hemat BBM itu tetap saja memboroskan BBM dalam negeri.

Darmaningtyas, ketua Institut Studi Transportasi (Instran) Jakarta

Senin, 29 Juli 2013

Manjakan Industri Otomotif, YLKI Protes Aturan Mobil Murah

JAKARTA, KOMPAS.com 
  • Selasa, 30 Juli 2013 | 10:02 WIB
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia memprotes keras terhadap Peraturan Pemerintah (PP) No No. 41/2013 tentang  Regulasi Mobil Murah dan Ramah Lingkungan (LCGC). Aturan ini dinilai banyak cacat dan terlalu memanjakan Industri otomotif. 

"Sepintas regulasi ini bagus, dalam konteks pertumbuhan ekonomi, transportasi dan energi. Tapi jika didalami regulasi ini banyak cacatnya," kata Anggota Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi, dalam siaran persnya.

Ia menyebutkan, secara paradigmatis PP ini cacat, karena seharusnya yang diberikan insentif adalah pengelola angkutan umum, bukan industri otomotif. 

Selain itu, dari sisi timing, regulasi ini tidak tepat krn msh buruknya sarana prasarana transportasi umum. "Sebaliknya, regulasi ini bisa diterima jika sistem transportasi di kota-kota besar sudah memadai dan terintegrasi. Regulasi ini terlalu menguntungkan dan memanjakan industri otomotif," katanya.

Sementara dari sisi finansial, lanjut dia, klaim murah juga menyesatkan. "Membohongi konsumen. Apanya yang murah, jika mobil itu dibeli secara kredit harganya mencapai Rp 140 jutaan. Sementara mayoritas konsumen membeli mobil dengan cara kredit/cicil," ujarnya.

YLKI juga mempertanyakan mengenai ramah lingkungan yang diusung mobil murah ini. "Apanya yang ramah lingkungan, jika mobil ini masih menggunakan bbm, dan apalagi bbm bersubsidi? Jadi klaim mobil LCGC adalah klaim yang tidak berdasar," kata Tulus.

Pada akhirnya, sebut Tulus, produk masal mobil LCGC ini justru akan membuat macet kota-kota besar di Indonesia, menjebol APBN karena subsidi BBM akan kian melambung, dan polusi di akan makin memburuk.

"YLKI menduga dengan kuat PP ini disahkan tanpa koordinasi yang jelas antar kementrian, bahkan aura kolusinya sangat kental. Oleh karena itu, YLKI meminta Pemerintah untuk merevisi total PP tersebut, dan menghentikan rencana produksi mobil LCGC," demikian Tulus.

Editor : Erlangga Djumena

Pemerintah tipu konsumen soal mobil murah ramah lingkungan

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai promosi pemerintah mengenai mobil murah ramah lingkungan (LCGC) membohongi konsumen. Soalnya, mobil tersebut dalam kenyataannya nanti kemungkinan tidak murah dan ramah lingkungan.
Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menjelaskan, mayoritas konsumen saat ini masih membeli mobil secara kredit. Jika, masyarakat membeli LCGC secara kredit, maka total ahargany bisa mencapai Rp 140 juta, jauh diatas ketetapan pemerintah Rp 95 juta.
"LCGC Membohongi konsumen. Apanya yang murah, jika mobil itu dibeli secara kredit harganya mencapai Rp 140 jutaan," katanya dalam siaran pers, Selasa (30/7)
Selain itu, sambung Tulus, pemerintah juga tidak menjamin bahwa LCGC bakal menggunakan bahan bakar non-subsidi. Untuk itu, YLKI meminta pemerintah untuk merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2013 dan menghentikan produksi LCGC.
"Apanya yang ramah lingkungan, jika mobil ini masih menggunakan bbm, dan apalagi bbm bersubsidi. Regulasi ini terlalu menguntungkan dan memanjakan industri otomotif," katanya.
Terlepas dari itu, pengembangan LCGC dinilai kian menyurutkan langkah revitalisasi transportasi umum guna mengurangi kemacetan. "Regulasi ini bisa diterima jika sistem transportasi di kota-kota besar sudah memadai dan terintegrasi," kata Tulus.